SUARA MERDEKA - NASIONAL

PEnelitian Melihat Laboratorium Pantai Ir Sumarno (1)

Rojolele pun Bisa Tumbuh di Tanah Berpasir


SM/Anto Prabowo DI ATAS PASIR: Ir Sumarno menunjukkan bukti bahwa padi rojolele pun bisa tumbuh di lahan pasir, di kawasan Pandan Simo, yang tergolong marginal dan miskin unsur hara.(57)

Para nelayan tidak selamanya bisa melaut, karena pertimbangan cuaca yang tidak bersahabat, misalnya. Untuk mengisi hari-hari penantian tersebut, Ir Sumarno menawarkan solusi. Berikut laporannya.

KETIKA alam tidak ramah, ketika ombak badai terlalu kuat untuk ditaklukkan, nelayan biasanya memilih untuk tidak melaut. Tak ada yang bisa dilakukan selain memperbaiki jaring dan kapal, untuk persiapan melaut lagi. Masa menunggu di darat itu semakin lama, ketika iklim semakin sulit untuk diprediksi, sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini.

Sesungguhnya, ada jawaban atas problema itu, sekalipun mungkin baru secercah sinar. Solusi itu ada di laboratorium pantai yang terletak di Desa Srandaan, Pandan Simo, Bantul Yogyakarta. Adalah Ir Sumarno (62), yang merintisnya mulai 7 tahun lalu.

Hamparan pasir, diselingi tanaman perdu kleresede dan ketapang, mendominasi kawasan yang dinamai Sultan Ground itu. Tetapi suasana di kawasan laboratorium sungguh berbeda. Banyak tanaman produktif bisa dibudidayakan di sana. "Ada 17 komoditas pertanian yang dibudidayakan di sini. Ada padi rojolele, kacang tanah, bawang merah, jeruk sunkis, jeruk nipis, sawo, pisang, jagung, bahkan juga kelengkeng bisa berbuah. Anda bisa lihat sendiri nanti," kata Sumarno, Direktur Utama CV Indmira.

Di laboratorium pantai yang luasnya sekitar 2,5 hektare itu, terdapat belasan petak lahan (sekitar 2,5 x 15 meter persegi) untuk padi rojolele. Pada petak yang padinya sudah bermalai dan berbuah, ada jaring penutup untuk melindunginya dari serangan hama burung.

Perlakuan terhadap rojolele memang khusus. Karena tanaman ini membutuhkan genangan air, maka petak-petak lahan padi itu berlandaskan plastik untuk menahan air. Yang menarik, padi-padi yang baru saja dipanen, tidak dicabut dari lahan. Sisa batang bekas potongan panen dibiarkan menumbuhkan tunas-tunas baru. Sumarno mengatakan, satu bibit bisa untuk tiga kali panen. "Ini kan bisa menghemat biaya tenaga kerja dan mengolah sawah."

Hasil panen rojolele di kawasan itu bisa mencapai setara 8 ton per hektare. Hasil itu bisa tiga kali lipat dari panen riil di tingkat petani, yang menggunakan bibit unggul. Tetapi, itu hasil laboratorium, dengan intensitas perhatian dan pengelolaan yang tinggi.

Hasil dari tanaman lain kacang tanah bisa mencapai setara 5,4 ton per hektare (di tingkat petani paling banyak 1,5 hektare). "Jeruk sunkis bisa 5 kg/ pohon/ 6 bulan. Jeruk nipis yang jumlahnya 80 pohon, bisa dihasilkan 30 kg per 2 bulan," kata Budi, salah seorang pengelola laboratorium itu.

Hasil yang ditunjukkan itu tentu merupakan titik cerah. Tidak hanya bagi nelayan yang bisa memanfaatkan waktu mereka saat tidak melaut, tetapi juga bagi dunia pertanian Indonesia secara keseluruhan.

Tidak Mudah

Sesungguhnya, membuat kawasan pantai yang gersang dan marjinal, bukanlah pekerjaan mudah. Selain kandungan hara tanahnya miskin, angin laut juga bisa membuat daun-daun tanaman menjadi gosong, khususnya jika habitat asli tanaman itu bukan dari pantai..

Tetapi, Sumarno memilih kawasan itu bukan tanpa maksud. Logikanya, jika pada kawasan yang marjinal itu bisa ditumbuhkan tanaman-tanaman produktif, tentu pada lahan relatif lebih subur hal itu lebih mudah dilakukan.

"Yang saya lakukan adalah mencoba dan terus mencoba. Kuncinya, jangan cepat putus asa, jangan cepat menyerah."

Mengatasi angin laut yang ganas, ia memanfaatkan tanaman cemara udang (Casuarina equisetifolia) sebagai tabir angin. Selain itu, ia terus menerus menguji coba formula untuk merehabitlitasi lahan (soil treatment) dan membuat tanaman lebih kuat.

Masalah Baru

Pilihannya pada cemara udang sebagai tabir angin laut, dan bukan pohon bakau (mangrove), ternyata tepat. Menurut Prof Dr Suhardi, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta, cemara udang lebih sesuai untuk lahan yang berpasir, dengan angin laut yang kencang. Pada usia tiga tahun cemara udang itu mampu menahan tsunami. Sedangkan bakau lebih sesuai untuk daerah pantai yang berlumpur, biasanya di muara sungai atau daerah cekungan belakang pulau.

Kini keduanya telah dicapai secara simultan; tanaman cemara sebagai tabir angin telah tumbuh dengan kokoh, dan formula-formula baru -yang kandungannya 60-90 unsur hara makro-mikro, zat tumbuh, dan asam-asam organik- sudah didapatkan. Lahan yang dia sewa selama 11 tahun dari para warga Desa Srandaan itu semakin mudah untuk dikelola.

Tetapi ada masalah baru. Ia harus menyerahkan kembali lahan yang disewanya sampai 2011 ke Pemerintah Kabupaten Bantul pada 1 Juni 2007. Apa pasal? Kawasan Pandan Simo itu akan dijadikan lahan eksplorasi pasir besi, yang investornya berasal dari Australia.

Sekalipun berusaha tampak tegar, Sumarno mengaku sangat sedih menghadapi kenyataan ini. Dia sedih bukan hanya karena investasi lebih dari Rp 1 miliar yang dikeluarkannya untuk berbagai eksperimen di lahan ini. Tetapi sedih karena ia mengharapkan daerah ini bisa menjadi objek ekowisata pendidikan.

Di objek wisata itu, warga masyarakat -termasuk para mahasiswa dan pelajar-tidak hanya melihat laut, mendengar deburannya, serta menikmati kesejukan udara di bawah pohon-pohon cemara. Tetapi sekaligus juga melihat bukti nyata, bahwa tanah yang gersang dan marjinal pun bisa diolah menjadi produktif, selama kita berusaha.

"Secara kalkulasi ekonomi, saya yakin, yakin sekali, kalau manfaat daerah ini sebagai ekowisata pendidikan, jauh lebih tinggi jika hanya dieksplorasi pasir besinya. Banyak sektor lain yang bisa ditumbuhkan," kata dia menerawang.(Anto Prabowo-41)