SUARA MERDEKA - NASIONAL

PEnelitian Melihat Laboratorium Pantai Ir Sumarno (2-Habis)

Sampah pun Bisa Jadi Sumber Solusi


SM/ Anto Prabowo BUNKER SAMPAH: Ir Sumarno menjelaskan proses pemanfaatan sampah rumah tangga menjadi bahan pupuk lewat pembakaran. Alat ini dirancangnya, dan ia siap memberikan pengetahuan pada semua pihak yang berminat. (30)

SIAPAKAH Ir Sumarno? Pastilah banyak yang mengira bahwa gelar insinyur yang disandangnya berkaitan dengan bidang pertanian. Jangan terkejut jika perkiraan itu salah. Sumarno seorang sarjana teknik sipil lulusan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Sampai tahun 1995 ia menjalani profesi sebagai kontraktor. Setelah itu ia penuh menggeluti bidang pertanian.

Mungkin peralihan ini dirasa aneh oleh kebanyakan orang. Bukankah dalam pandangan umum gengsi bidang konstruksi lebih prestisius dibanding pertanian? Apakah dia patah arang dengan bidang yang dipelajarinya di universitas dan digelutinya sebagai profesi hingga belasan tahun?

Terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, ia hanya menjawab, "Bidang teknik sipil di Indonesia jalan di tempat," tanpa mau menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan "jalan di tempat" itu. Di saat lain ia bilang, "Bidang pertanianlah kunci kemajuan Indonesia di masa depan. Kalau bidang ini maju, dan mayoritas warga negeri bisa sejahtera, maka bidang-bidang lain pun turut menerima berkahnya."

Hanya dari Aryo (29) putra sulungnya, sekelumit tentang latar belakang peralihan profesi itu terungkap. "Bapak merasa tidak nyaman terus bekerja di bidang yang harus mengorbankan kejujuran dan kualitas. Ya, Mas tahu sendirilah. Kondisi itu yang mendorong Bapak banting setir," tuturnya.

Dengan peralihan itu tidak berarti sama sekali Sumarno melupakan bidang teknik sipil yang lama digelutinya. Ia akan bergairah bercerita tentang rumahnya, yang dibangun tanpa menggunakan sebongkah pun batu gunung sebagai fondasi. "Saya menggunakan fondasi plat beton. Biaya pembangunannya bisa hemat 48%. Biarlah batu-batu itu tetap di gunung-gunung dan menyatu dengan ekosistem di sana. Kalau di Yogya saja sekitar 500 truk batu diambil dari gunung dalam sehari, berapa dalam setahun. Itu baru Yogya. Bayangkan, bagaimana ekosistem kita ini akan hancur karena eksploatasi itu."

Ia pun sangat antusias ketika mengemukakan gagasan tentang dam bawah tanah, sebagai pengganti bendungan. Serta juga tentang energi listrik gaya tarik planet, yang lebih sesuai untuk Indonesia yang berpulau-pulau.

Dari banyak cerita dan gagasan yang terlontar, bisalah disimpulkan Sumarno seorang pembelajar dan eksperimentalis alias gemar bereksperimen. Spirit seperti itulah yang mendasarinya ketika menggeluti bidang pertanian.

Mulai 1985

"Saya ini anak petani. Pada akhirnya saya harus kembali ke pertanian. Bidang ini kunci kemajuan Indonesia. Sayang sangat terabaikan," kata pria kelahiran Kulonprogo, 62 tahun lalu itu.

Ia mulai menekuni bidang pertanian pada tahun 1985, lewat aktivitas sederhana yakni mencangkul dan menanam sayuran dan buah-buahan dibantu dua orang yang sangat setia hingga sekarang. "Uang dari menjadi tukang bangunan, saya tanamkan di bidang pertanian, untuk berbagai percobaan. Tahun 1991 saya menemukan prinsip-prinsip untuk memperbaiki lahan kebutuhan tanaman akan unsur-unsur hara yang bervariasi. Baru tahun 1995 saya memutuskan untuk menekuni penuh pertanian, melepas pekerjaan di bidang konstruksi."

Dalam 10 tahun bermetamorfosis itu, ia sangat tertarik pada gagasan back to nature dari Pertemuan Rio de Janairo 1992 yang dihadiri delegasi 179 negara di bawah prakarsa PBB. Tetapi ia merasa konsep kembali ke alam (back to nature) itu merupakan gagasan besar yang mengambang, sehingga masing-masing delegasi perlu menerjemahkannya sesuai dengan konteks dan kebutuhan negara masing-masing.

"Yang jelas, untuk kondisi Indonesia, hal itu tidak bisa diterjemahkan sebagai pertanian organik yang hanya mengandalkan kompos dan pupuk kandang semata. Sekarang bayangkan, kalau diperlukan 20 ton pupuk kandang atau 5 ton kompos per hektare per musim, berapa yang dibutuhkan untuk 6 juta hektare lahan sawah di Jawa? Saya kira telek (kotoran ñred) sapi se-Indonesia nggak mencukupi," kata bapak dua putera, Aryo (29) dan Andi (27), ini.

Menurut Sumarno, prinsip yang harus dipegang dalam back to nature itu adalah bahwa tanah yang telah dieksploitasi dalam proses revolusi hijau yang terjadi hampir di seluruh bagian bumi, harus dipulihkan kembali.

Dia mencontohkan, dalam satu musim tanam, rata-rata sawah menghasilkan 5 ton gabah per hektare, dalam setahun (2 kali musim tanam) 10 ton, dalam 20 tahun berarti 200 ton gabah. Hasil itu didapat dari kandungan hara dan air di dalam tanah, ditambah asupan yang ditebar sebagai pupuk.

Sedangkan yang dimasukkan dalam lahan, tuturnya, dalam setahun kira-kira 1.000 kg pupuk, dalam 20 tahun paling-paling 20 ton. Itupun, asupannya hanya unsur N (dari urea), P (dari TSP) dan K. "Eropa saja, yang asupannya mencapai 16 unsur hara makro dan mikro mengalami degradasi lingkungan karena revolusi hijau itu. Mereka merasakan efeknya pada kesehatan manusia. Yang terjadi di negeri ini tentu jauh lebih parah. Pantas kalau tanah kita makin tidak produktif," katanya dengan nada yang berapi-api.

Manfaatkan Sampah

Di tahun 90-an, setelah lima tahun melakukan berbagai uji coba, ia menemukan prinsip kebutuhan tanaman, melalui analisis abu. Secara umum, pada tanaman segar terdapat unsur air sebanyak 85% dan unsur padat 15%.

Lewat analisis abu diketahui, unsur padat ini terdiri atas 90% kandungan organik (C-H-O), lalu sisanya unsur hara makro dan mikro dengan proporsi bobot 250 (makro) dibanding 1 (mikro). Yang tergolong unsur hara makro misalnya nitrogen (N), fosfat (P), kalium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca), dsb. Sedangkan unsur mikro antara lain, besi (Fe), seng (Zn), tembaga (Cu), mangan (Mn), dan boron (Br).

"Nah, pada tanaman rata-rata terdapat 60-90 unsur hara makro dan mikro. Itu yang harus disediakan dalam pupuk, bersama dengan zat perangsang tumbuh dan asam-asam organik. Tidak hanya soal ketersediaan unsur-unsur, yang juga perlu diperhitungkan adalah proses pertukaran ion-ion di dalam tanah. Prinsip ini yang saya pegang," kata Direktur Utama CV Indmira, yang bidang usahanya meliputi produksi pupuk, konsultan pertanian, serta budidaya tanaman itu.

Dengan berpegang pada prinsip di atas, ia melihat bahwa sampah-sampah rumah tangga sangat berguna sebagai bahan dasar pupuk. Kata "pupuk" sering ia pertukarkan dengan "soil treatment", karena menurutnya proses pemupukan akan sangat efektif jika bersamaan dengan itu terjadi rehabilitasi lahan. Atau sebaliknya, rehabilitasi lahan sangat membantu efektivitas pemupukan.

Sampah-sampah itu diambil abunya. Selain itu, asapnya pun diperangkap dalam filter. "Abu dan asap yang difilter ini bisa menjadi bahan dasar pupuk. Tentu tidak hanya itu, ada beberapa unsur lain yang perlu ditambahkan lagi."

Tentang "unsur lain" itu, ia menyebut alga sebagai salah satu komponen yang sangat penting, karena kandungan klorofil dan asam amino yang demkian tinggi. Indonesia memiliki kekayaan alga laut yang luar biasa. Jepang pun memanfaatkannya untuk produksi sun-cholrela, yang diproduksi di Jember, Jawa Timur. "Kita kalah pandai dalam memanfaatkan kekayaan alam kita sendiri."

Ia pun menunjukkan bunker tempat pembakaran sampah di kantor pusat Indmira, Jl Kaliurang Km 16,3 Yogyakarta. Ada dua bagian pengolahan sampah itu. Pertama, bunker tempat pembakaran sampah, yang dibagi menjadi tiga tingkat, yakni untuk sampah basah paling atas, lalu sampah bakar bagian tengah, dan abu di bagian paling bawah. Bagian kedua adalah bunker filter asap. Asap yang dihasilkan oleh pembakaran sampah ditarik dengan bantuan blower ke bunker filter. Secara periodik filter ini dicuci. Air cucian ini yang menjadi komponen pupuk cair.

Menurutnya, semua jenis sampah selain beling dan logam dapat dimanfaatkan abunya maupun asapnya, untuk jadi pupuk. "Plastik pun bisa. Pada abu dan asap cair itu, terhadap berbagai unsur hara yang berguna bagi tanaman. Pada kelompok-kelompok tani binaan Indmira, ada bunker untuk pembakaran sampah. Abu dan asap cairnya kami beli. Anda yang dari luar kota pun bisa mencoba. Tidak perlu mengirim abu ke sini, tapi cukup ditambahkan unsur pelengkap dari kami, untuk menjadi pupuk. Tidak mahal pembuatan bunker itu, cukup Rp 10 juta."

Bayangkan, ketika banyak daerah kesulitan mengelola sampah-sampah kota, Ir Sumarno memiliki solusinya. Tidak sekadar meringkas sampah menjadi abu (yang volumenya 15% dari sampah basah), tapi juga memanfaatkan abu itu untuk pupuk organik.

Jatuh Bangun

Proses menjalankan berbagai eksperimen selama bertahun-tahun, membutuhkan keteguhan hati yang luar biasa, selain tentu biaya yang sangat tinggi. Itu yang terjadi pada Sumarno. Tahun 1995, ketika ia merasa telah menghasilkan "sesuatu yang baru dan berguna" bagi masyarakat Indonesia, ia melepas pekerjaan kontraktornya. Tapi selama tiga tahun ia mengalami kesulitan memasarkan produknya. Baru tahun 1998, lewat multi-lever-marketing (MLM) Forever Young, produk itu bisa diterima masyarakat.

Kini boleh dibilang ia tinggal memetik hasilnya. Perusahaan yang dibangunnya, CV Indmira, memiliki pabrik pupuk organik dengan kapasitas produksi 200.000 liter pupuk cair dan 50.000 kg pupuk padat per bulan. Ada 70 tenaga kerja yang siap membantunya, termasuk 17 sarjana berbagai bidang, yang bekerja di riset dan pengembangan di berbagai laboratorium pertanian dan tambak, di bagian produksi, maupun pemasaran. (Anto Prabowo-41)